Iman dalam Perspektif Psikologi

Iman  dapat dipahami dalam spektrum yang berkisar dari isi seperangkat keyakinan tertentu hingga tindakan kepercayaan, biasanya dalam komunitas, doktrin, atau Dewa tertentu. Dalam agama-agama fundamentalis, pemahaman tentang iman condong ke arah penekanan pada isi keyakinan, terutama persetujuan seseorang terhadap seperangkat keyakinan tertentu. Dalam konteks ini, iman memiliki kualitas niskala dan ditetapkan dalam batas-batas untuk menentukan apa yang ada di dalam atau di luar ruang lingkupnya. Menyetujui proposisi agama yang tepat berarti memiliki iman, dan berada di luar batas-batas ini berarti tidak setia atau "kafir."

Di sisi lain spektrum, iman secara sederhana dicirikan sebagai sinonim dengan kepercayaan, sikap percaya, dan dengan demikian lebih mengacu pada tindakan mempercayai daripada konten spesifik dari kepercayaan seseorang. Dalam penekanan pragmatis ini, efek psikologis dari kenyamanan dan pelepasan dari kecemasan dan ketidakamanan tampaknya disorot, bahkan sampai ke titik ekstrim dari tidak adanya konten niskala.

Sebagian besar ekspresi iman tampaknya ada di tengah, termasuk tindakan kepercayaan, dengan konsekuensi wajar dari janji harapan, dan beberapa konten tertentu di mana kepercayaan seseorang ditempatkan (yaitu, Dewa, komunitas agama, dan teks suci). Baik untuk agama maupun spiritualitas, iman tampaknya memiliki kandungan khusus dan spesifik yang tercermin dalam kepercayaan orang beriman.

Freud menjelaskan kepercayaan pada Tuhan sebagai pemenuhan kebutuhan akan sosok ayah yang diproyeksikan, dalam melayani cita-cita budaya kontrol dan manipulasi. Freud kritis terhadap potensi iman untuk digunakan sebagai penyangkalan dan menyarankan bahwa orang yang lebih dewasa akan menghadapi nasib (yang dipersonifikasikan sebagai dewi Yunani Ananke) tanpa bantuan pelarian ilahi. Jung lebih positif mengidentifikasi iman, tetapi tanpa penekanan pada aspek sosial atau doktrinalnya. Dia memahaminya terutama dalam hal gnosis (secara harfiah "pengetahuan"), sebagai pengetahuan spiritual yang langsung dipahami yang dihadapi individu dan yang membawa penyembuhan psikis melalui rekonsiliasi kutub berlawanan dari pengalaman seseorang. Ahli teori hubungan objek memodifikasi teori Freud tentang proyeksi dan memahami iman sebagai yang muncul dari ruang liminial antara ibu dan anak di mana anak menciptakan dan digenggam oleh objek transisi.

Mungkin tidak ada yang menggunakan teori-teori Freud dengan pandangan yang lebih simpatik terhadap iman daripada Erik H. Erikson, yang teori-teori perkembangannya, yang dirumuskan dari karyanya dengan anak-anak dan berdasarkan pada jadwal perkembangan anak Freud yang direvisi, membuatnya menyimpulkan bahwa kepercayaan dasar adalah hasilnya. dari resolusi positif dari perjuangan perkembangan anak pertama, antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Dia menyimpulkan bahwa orang dewasa yang telah mengembangkan kepercayaan dasar pada tahap pertama ini akan lebih mungkin memiliki iman daripada orang yang tidak. Oleh karena itu, pengalaman awal seorang anak menjadi landasan bagi pengalaman positif keyakinan agama dalam kehidupan dewasa.

Dipahami sebagai perjumpaan pengalaman transformatif individu, iman memiliki makna yang kuat dalam Varieties of Religious Experience karya William James. Dia menyarankan bahwa orang-orang yang terpecah, atau terganggu oleh konflik psikis, lebih mungkin mengalami penyerahan diri kepada “sesuatu yang lebih” di luar. Iman dapat dilihat, dalam istilah Yakobus, sebagai resolusi dari diri yang terbagi melalui penyerahan diri, dan dengan demikian merupakan sumber kepuasan dan kegembiraan.

Namun, iman sering muncul bersamaan dengan keraguan, dan dapat dikatakan bahwa keduanya berada dalam ketegangan dialektis. Jika ini terlihat dalam ketegangan yang berbuah, iman sering kali dapat menjadi pengalaman yang luas dan memberi kehidupan. Namun, iman juga dapat mencakup banyak kecemasan, tentang potensi untuk melanjutkan iman dan tentang berada di luar batas kesetiaan. Reformasi Protestan dapat dilihat sebagai cara mengatasi kecemasan ini secara historis, dengan implikasi budaya dan agama yang mendalam.

Bahan Literasi Psikologi

Sigmund Freud, (1928/1961). The future of an illusion,  London: L & Virginia Woolf at the Hogarth Press and the Institute for Psychoanalysis.

Sigmund Freud, (1957). Civilization and its discontents, London: Hogarth Press.

William James, (1902/2007). The varieties of religious experience: A study in human nature, New York: Modern Library.

Ana-Maria Rizzuto, (1998). Why did Freud reject God? A psychodynamic interpretation. New Haven: Yale University Press.

Posting Komentar untuk " Iman dalam Perspektif Psikologi"